Selasa, September 12, 2017

Mengulas Sejarah Singkat Kekerasan Rohingya

Akhir-akhir ini banyak media yang memberitakan tentang kekerasan di Rakhine, sebuah negara bagian di negara tetangga kita Myanmar. Bila dilihat dari sejarahnya Rakhine adalah sebuah kerjaan yang bernama Arakan. Arakan ini terisolasi dan jauh dari pusat politik kala itu dan bisa bersifat independen dalam sejarah sebelum dikuasai oleh Raja Burma saat itu Bodawpaya pada 1785.



Kerajaan mandiri Rakhine terakhir didirikan di Mrauk-U pada 1430 dengan bantuan militer dari Sultan Bengal sehingga terdapat beberapa pemukiman pasukan muslim sekitar Mrauk-U dan Kyauktaw. Kerajaan Rakhine ini diketahui merdeka pada tahun 1531, meskipun raja yang berkuasa saat itu beragama Budha tetapi beberapa jabatan pejabat kerajaan dan sistem kerajaan masih diisi oleh kaum Muslimin.

Seperti keadaan kerajaan pada umumnya, kerajaan ini tidak lepas dari perebutan kekuasaan hingga terjadinya serangan luar biasa dan tiba-tiba dilancarkan oleh Kerajaan Burma pada 1784 dan menghancurkan pusat pemerintahan Mrauk-U sehingga Kerajaan Rakhine dianeksasi oleh Burma. Banyak tentara, khusunya sebuah unit tentara yang muslim disebut "Myedu" melarikan diri ke berbagai wilayah. Saat sensus masa kolonial di 1930 sebanyak lebih 5000 dari mereka saat itu mengkalim keturunan dari tentara muslim di Distrik Thandwe.

Kekuasaan Kerajaan Burma di Rakhine tidak berlangsung lama. Pada 1825 Kekuasaan Burma  di Rakhine dikalahkan oleh Inggris yang datang dari India sehingga menjadi bagian kolonialisasi Inggris. Pada saat kolonialisasi inilah terjadi migrasi secara besar-besaran kaum muslim dari Bengal. Ini disebabkan karena Pemerintah Inggris pada saat itu menginginkan peninkatan hasil panen yang membutuhkan tenaga kerja sangat banyak di wilayah Rakhine.

Perpecahaan mulai terlihat saat Perang Dunia II ketika Jepang ke Rakhine tahun 1942. Saat itu kebanyakan muslim berpihak ke Inggris sedangkan mayoritas Rakhine yang beragama Budha mendukung Jepang. Masing-masing membentuk kekuatan dan menyerang satu sama lain sehingga terjatuh banyak korban dikedua belah pihak. Akhirnya kaum muslim mengungsi ke utara Rakhine sedangkan kaum budha bergerak ke selatan menambah dalam jurang perbedaan di antara mereka.

Setelah kemerdekaan Burma, warga muslim yang mermukim di utara Rakhine menuntut hak sebagai warga negara yang sah dan menuntut daerah otonomi khusus. Sementara itu banyak kaum budha diangkat di pemerintahan bertindak diskriminatif kepada warga muslim melakukan pelarangan perpindahan warga muslim dari utara Rakhine ke Sittwe dan 13.000 Muslim yang mengungsi pada saat perang tidak diizinkan kembali dan dianggap sebagai imigran Pakistan/Bangladesh ilegal.

Warga muslim yang dianggap pemberontak menargetkan kepentingan warga Budha Rakhine dan juga pemerintah dengan cepat menguasai utara Rakhine dan mengusir warga desa yang beragama Budha. Rakhine pada saat itu bisa dikatakan sangat kacau. Terdapat banyak kekuasaan mulai dari Partai Komunis, Kaum Mujahidin, kaum Nasionalis Rakhine dan Partai Rakyat Arakan yang berlandaskan Marxsisme.

Seiring berjalannya waktu hubungan antara Budha dan Muslim semakin renggang. Kaum Mujahidin yang jumlahnya sedikit berhasil dikalahkan oleh pemerintah dan tinggallah kaum muslim moderat yang tidak sejalan dengan kaum mujahidin dan lebih pro pemerintah. Pada tahun 1961 pemerintah membentuk Mayu Frontier Administration di utara Rakhine yang dibentuk menjelang pemilu. Populasi dari Mayu ini meningkat tajam dan menyebut diri mereka "Rohingya" sebagai identitas politik dan etnis.

Kudeta militer pada tahun 1962 mengakhiri aktivitas politik warga muslim, melarang segala bentuk organisasi politik dan semakin keras terhadap kaum minoritas. Junta militer sebagai pemegang kekuasaan yang baru menolak sebagian besar status kewarganegaraan mayoritas muslim di Rakhine dan Mayu Frontier Administration dibubarkan.

Pada tahun 1960, Perdana Menteri Nu berjanji Rakhine akan berstatus sebagai negara bagian yang berdasarkan etnis dan juga menjanjikan warga muslim daerah otonomi khusus di utara Rakhine. Rencana ini gagal oleh kudeta 1962. Wacana ini kembali muncul ketika 1973 ketika pemerintahan militer menggelar konsultasi dalam penyusunan konstitusi negara yang baru. Perwakilan Muslim kemudian mengajukan proposal daerah otonomi khusus di Utara Rakhine tetapi ditolak. Rakhine tetap berstatus negara bagian berdasarkan etnis sejajar 6 negara bagian lain.

Kemerdekaan Bangladesh tahun 1971 membuat ribuan pengungsi pada saat itu menuju ke Rakhine, pemerintah militer saat itu mengeluarkan kebijakan Operasi "Nagamin" untuk menghalau pengungsi dari Bangladesh. Komunitas muslim dalam tekanan, pemerintah meragukan asal usul dan loyalitas muslim di Rakhine, kekerasan banyak dilakukan di Rakhine membuat sekitar 200.000 Muslim Rakhine mengungsi ke Bangladesh. Tidak ada upaya integrasi dari kedua negara sehingga banyak diantaranya masih belum memiliki kewarganegaraan. Sebuah undang-undang kewarganegaraan yang baru disahkan tahun 1982 semakim memperkecil hak-hak dari warga muslim di Rakhine.

Kudeta militer kembali terjadi tahun 1988 saat junta militer menjatuhkan pemerintahan sosialis dan berjanji transisi menuju demokrasi berjalan cepat, serta menjalankan pemilihan umum dengan sistem multi partai tahun 1990. Beberapa wakil dari partai muslim di Rohingya dan Kaman terpilih tetapi hasil dari pemilu tetap tidak pernah dilaksanakan dan pemerintahan kembali dijalankan oleh militer. Tahun 1991 rezim militer meningkatkan jumlah tentara ke utara Rakhine, menyita lahan milik warga menuntut pajak, sehingga menambah pengungsi melarikan diri ke Bangladesh.

Tahun 2001 muncul kerusuhan antara warga Budha dan Muslim beberapa mesjid dibakar dan beberapa komunitas muslim diburu. Padas saat pemilu 2010 yang diikuti beberapa partai kembali memanaskan panggung politik di Rakhine. Banyak warga Budha Rakhine yang marah akibat pemberian janji oleh  Union Solidarity and Development Party (USDP) akan kewarganegaraan muslim Rohingya.

Sejarah panjang kaum muslim di Rakhine, khususnya di bagian utara Rakhine memberikan gambaran yang jelas bahwa sebelum adanya negara Myanmar, entitas muslim sebagai warga ataupun penduduk yang mendiami suatu wilayah merupakan hal yang sudah lama terjadi. Tentu menurut pandangan umum mereka telah berhak menyandang status kewarganegaraan dan hak-hak yang lainnya.

Myanmar merupakan negara yang terdiri 7 Negara Bagian (State) dan 7 Divisi. Tujuh negara bagian dihuni oleh suku minoritas dan tujuh divisi yang dihuni oleh suku mayoritas Burma. World Factbook CIA mencatat ada sekitar 135 etnis pribumi asli di Myanmar.

Dilihat dari sejarah, perlawanan mulai muncul dari warga atas kesewenang-wenangan pemerintah berkuasa yang saat itu diisi oleh warga beragama Budha saat itu. Belum lagi bentuk-bentuk diskriminasi serta perampasan hak-hak yang semestinya dimiliki oleh etnis Rohingya di awal berdirinya negara. Kekerasan yang terjadi oleh warga Budha semestinya mengedepankan toleransi dan kasih sayang seperti ajaran Budha.

Faktor penting yang perlu diperhatikan juga adalah tindakan dari rezim militer yang sejak dahulu membiarkan atau patut diduga membiarkan/mendukung warga Budha untuk melakukan penyerangan. Muslim di Rakhine punya 2 pilihan, melawan mempertahankan tanah air mereka atau melarikan diri / mengungsi. Mengungsi menjadi pilihan yang mayoritas dilakukan warga Muslim di utara Rakhine sebagai akibat dari kekerasan yang tak ada hentinya.

Kekuatan bersenjata memiliki peran penting dalam sejarah politik negara ini. Sejak kudeta tahun 1962 militer selalu memegang tampuk kekuasaan. Kekerasan kepada demonstran, mahasiswa, sampai etnis minoritas dilancarkan hingga saat ini. Sampai kemenangan aktivis pro demokrasi Aung San Suu Kyi tahun 2015 di parlemen, militer masih tetap sangat berpengaruh di Myanmar.


Gambar oleh: Soe Zeya Tun/Reuters

Seiring memuncaknya intimidasi dan kekerasan yang terjadi hingga saat ini kepada etnis Rohingya, masyarakat internasional memberikan dukungan moral yang sangat besar kepada kaum tertindas ini. PBB sudah sejak lama memberikan perhatian masalah pengungsi di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Beberapa negara kemudian ikut mengambil peran penting dalam masalah ini. Tercatat kunjungan ibu negara Turki, Emine Erdogan turun tangan memberikan bantuan kepada pengungsi di Bangladesh, tak ketinggalan kunjungan diplomatis oleh Menteri Luar Negeri Indonesia yang langsung bertemu dengan Aung San Suu Kyi membahas kekerasan di Rakhine.

SUMBER:

https://www.cfr.org/backgrounder/rohingya-migrant-crisis
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/bm.html
Myanmar: The Politics of Rakhine State - International Crisis Group

0 komentar:

Posting Komentar